Post Travel Effect. Toraja edition

Aigoo... berhubung di luar sana masih macet parah, mari melanjutkan cerita perjalanan tahun lalu, yuk.

Seusai makan Palu Basa.. berangkatlah kita ke Toraja. Fyi, seingat saya, perjalanannya itu memakan waktu 8 jam yah (totally blank) dengan menggunakan bus-bus yang tersedia di berbagai titik di Makassar. Rombongan saya waktu itu memilih Bus Litha yang pangkalannya terletak di jalan di depan sebuah mall yang saya juga lupa namanya. Hahahaha. Harga tiketnya (again, kalo ngga salah) 120 ribu Rupiah, beda tipis dengan yang versi exclusive apalah-apalah yang menyediakan ruang kaki lebih lebar (150 ribu, uhm no thanks). Sepanjang perjalanan tidur, hanya sesekali diselingi rasa puyeng karena bus terasa berputar-putar menaiki gunung.

Tiba di Rantepao sekitar jam 6 pagi. So sweet. Perbedaan cuaca benar-benar jomplang berhubung kita baru panas-panasan di Tanjung Bira, kali ini di Tana Toraja udaranya sejuk macam di Puncak siang-siang. Yang paling sweet adalah di sepanjang perjalanan banyak pohon-pohon Natal yang dibuat ngga pake pohon cemara tapi bambu yang dihiasi lampu warna-warni. Huaaa, lovely December it is. 

Kita langsung diturunkan di depan Hotel Pison. Di Rantepao ini semuanya sih harusnya bisa within walking distance, tapi kalau ngga mau susah, banyak bentor-bentor (i.e. becak motor) yang memasang tarif 5,000 untuk jarak yang dekat tapi ngga dekat-dekat amat. Sebagai anak kota, entah mengapa tujuan pertama adalah mall, dunno why, hanya Tuhan yang tahu. Bapak-bapak yang jadi tour guide di sana hanya terkekeh pas kita nanya mall ada di mana. Dia menunjukkan arah Matahari Dept Store dan eng ing eng... itu bangunan tersedih yang pernah saya lihat yang mengklaim dirinya sebagai mall. Dude, puh-lease. Cat bangunannya ijo kusam, aspal jalanan masuk masih lobang-lobang, isinya juga cuma satu lantai dengan barang-barang seadanya. Bahkan kondisi pasar pun masih lebih mendingan sih daripada Matahari Dept. Store yang ini. Tsk tsk tsk.

Anyway, menurut info yang beredar dari mulut ke mulut (hmmm, mulut ke mulut), akan ada perayaan penguburan di Tana Toraja keesokan harinya. APAAAA? Itu kan event abad ini yang ngga boleh dilewatkan sepanjang sejarahhhh!!! *lebay* Kocak sih, dari rombongan saya, teteup ngga ada yang seniat itu bangun pagi buat nekin tempat pewe untuk menonton upacara adatnya. Kita masih selow-bro mode-on padahal tahu bakal macet banget ke lokasi upacara. Dan hasilnya memang tidak salah, hahahaha.. RAME GILAK tu tempat. Udah gtu, prosesi penguburannya aga blur karena pihak keluarganya kayanya banyak yang udah jadi perantau yah jadi ngga gtu2 amat ngikutin prosesinya. Lucu siy. Salah satu prosesinya adalah mengangkat peti jenasah yang udah ditaruh di semacam kereta gtu (which I can imagine GOTTA BE HEAVY), trus diangkut ke sini ke sana ke situ ke mari diiringi dengan teriakan-teriakan dan tawa canda... semua dengan tujuan agar almarhum bingung dengan arah dan ngga bisa balik ke rumah. Wkwkwkwk. Lucu yak.

Sampai sore kita nongkrong di lokasi penguburan, lumayan ngga enak sih soalnya sodara bukan kenalan juga bukan, tapi akhirnya cuek soalnya wartawan yang ngeliput parah banyaknya. Ada juga yang kinclong di sana, katanya sih pembawa acara jalan-jalan gtu. Auk deh sapa. Kita niatin nunggu sampe acara adu tedong (i.e. adu kerbau) tapi sayang sekaliiii hanya dapet acara penyembelihan kerbau soalnya keburu hujan. Dengar-dengar sih kalo acara penguburannya lumayan besar, bisa sampe 2-3 hari. Wow, amazing! Waktu acara penyembelihan kerbau lumayan ngeri. Soalnya kerbaunya kaya dilonggarkan gtu talinya jadi bisa lari ke sana sini. Semacam matadornya Spanyol, tapi yang versi Toraja, si matadornya bawa golok (._.)

Hujan-hujan akhirnya kita melanjutkan ke tempat makam bayi yang ditaruh di dalam batang pohon. Itu tour guidenya sih amat sangat dedicated sih. Baju udah basah kuyub, teteup aja dong kita disuruh keluar liatin kuburan. Seriously ini wisata kuburan banget judulnya. Why, karena Toraja memakamkan rakyatnya dengan cara yang tidak biasa, yaitu dengan menggali tebing-tebing atau batu-batu besar untuk dimasukkan peti mati. Mungkin menurut mereka, kalau ada cara yang susah, kenapa memilih cara yang gampang?

Saya pernah bertanya kenapa mereka tidak menguburkan keluarganya dengan cara yang standar aja yaitu dimasukkan ke dalam tanah. Tour guidenya jawab, "Soalnya masih banyak tebing di Toraja. Tanah dipakai untuk bertani dan beternak." Oooh.. That's why berhati-hatilah bila menepi di jalan untuk foto-foto di atas batu besar. Karena bisa jadi tu batu adalah kuburan, JENG JENG!!


Sisa hari di Toraja dihabiskan dengan berburu kain Toraja, pernak-pernik Toraja, merambah pasar dan sok-sok-an menawar harga kerbau (150 juta saja, juragan) dan tentunya makan. Makanan paling mengesankan adalah makanan di Hotel Pison, ayam apaa gtu pokoknya kaya dipepes pake bambu. Kalau mau makan itu, kudu mesen dulu beberapa jam sebelumnya biar disiapkan dulu. Enyak deh ikuuu.

Pulang ke Jakarta, kita pun bertukar foto, bertukar cerita, keep in touch..

Comments

Popular posts from this blog

Ayam Suwe

Weird

Years we have had